Memahami Modul 1.4 Menciptakan Budaya Positif di Sekolah Dengan Penerapan Konsep Restitusi




 

A. Kesimpulan Modul 1.4 Budaya Positif Pendidikan Calon Guru Penggerak

Setelah mempelajari modul 1.4 Penulis sebagai calon guru penggerak mendapatkan pemahaman bagaimana menciptakan budaya positif di sekolah. Budaya positif tentunya berakar pada nilai kebajikan yang diyakini semua warga sekolah yaitu nilai profil Pelajar Pancasila. Dalam mewujudkan guru harus memahami motivasi dan langkah yang tepat untuk mewujudkannya. Agar siswa menjadi manusia seutuhnya yang memiliki kebahagiaan dan keselamatan setinggi - tingginya.

Ki Hadjar Dewantara , Salah satu tokoh pendidikan yang merupakan Bapak Pendidikan Indonesia menyatakan bahwa,

“…kita ambil contoh perbandingannya dengan hidup tumbuh-tumbuhan seorang petani (dalam hakikatnya sama kewajibannya dengan seorang pendidik) yang menanam padi misalnya, hanya dapat menuntun tumbuhnya padi, ia dapat memperbaiki kondisi tanah, memelihara tanaman padi, memberi pupuk dan air, membasmi ulat-ulat atau jamur-jamur yang mengganggu hidup tanaman padi dan lain sebagainya.(Lampiran 1. Dasar-Dasar Pendidikan. Keluarga, Th. I No.1,2,3,4., Nov, Des 1936., Jan, Febr. 1937)

Jika kita mendalami makna dari pernyataan Bapak Kihajar Dewantara diatas, sekolah bagaikan sebuah lahan yang menjadi tempat tumbuhnya murid sesuai kodratnya. Guru layaknya petani yang akan mengelola bagaimana supaya anak didiknya tumbuh dengan baik jauh dari gangguan yang akan merusak pertumbuhannya. Guru hendaknya mengusahakan sekolah jadi lingkungan yang menyenangkan, menjaga, dan melindungi murid dari hal-hal yang tidak baik. Sehingga karakter murid tumbuh dengan baik. Contohnya murid yang tadinya malas menjadi semangat. Murid akan mampu menerima dan menyerap suatu pembelajaran bila lingkungan di sekelilingnya terasa aman dan nyaman.

Menciptakan sekolah yang nyaman merupakan salah satu tanggung jawab seorang guru.  Guru berupaya menciptakan suatu lingkungan positif yang terdiri dari warga sekolah yang saling mendukung, saling belajar, saling bekerja sama sehingga tercipta kebiasaan-kebiasaan baik; dari kebiasaan-kebiasaan baik akan tumbuh menjadi karakter-karakter baik warga sekolah, dan pada akhirnya karakter-karakter dari kebiasaan-kebiasaan baik akan membentuk sebuah budaya positif.

Dalam upaya menciptakan budaya positif di lingkungan sekolah , bagaimana upaya guru mengontrol prilaku murid ataupun mempengaruhi semua pihak dalam menciptakan budaya positif ?

Berdasarkan konsep pemikiran psikiater dan pendidik, Dr. William Glasser dalam Control Theory yang kemudian hari berkembang dan dinamakan Choice Theory, meluruskan beberapa miskonsepsi tentang makna ‘kontrol’.

Ilusi guru mengontrol murid.  Pada dasarnya kita tidak dapat memaksa murid untuk berbuat sesuatu jikalau  murid tersebut memilih untuk tidak melakukannya. Walaupun tampaknya  guru sedang mengontrol perilaku murid, hal demikian terjadi karena murid  sedang mengizinkan dirinya dikontrol. 

Ilusi bahwa semua penguatan positif efektif dan bermanfaat.  Penguatan positif atau bujukan adalah bentuk-bentuk kontrol. Segala usaha  untuk mempengaruhi murid agar mengulangi suatu perilaku tertentu, adalah  suatu usaha untuk mengontrol murid tersebut. Dalam jangka waktu tertentu,  kemungkinan murid tersebut akan menyadarinya, dan mencoba untuk  menolak bujukan kita atau bisa jadi murid tersebut menjadi tergantung pada pendapat sang guru untuk berusaha.

Ilusi bahwa kritik dan membuat orang merasa bersalah dapat  menguatkan karakter. Menggunakan kritik dan rasa bersalah untuk mengontrol murid menuju pada  identitas gagal. Mereka belajar untuk merasa buruk tentang diri mereka.  Mereka mengembangkan dialog diri yang negatif. Kadang kala sulit bagi guru  untuk mengidentifikasi bahwa mereka sedang melakukan perilaku ini, karena seringkali guru cukup menggunakan ‘suara halus’ untuk menyampaikan pesan  negatif.

Ilusi bahwa orang dewasa memiliki hak untuk memaksa. Banyak orang dewasa yang percaya bahwa mereka memiliki tanggung jawab  untuk membuat murid-murid berbuat hal-hal tertentu. Apapun yang  dilakukan dapat diterima, selama ada sebuah kemajuan berdasarkan sebuah  pengukuran kinerja. Namun perilaku memaksa tidak akan efektif untuk jangka waktu panjang,  dan sebuah hubungan permusuhan akan terbentuk.


Penulis menyadari selama ini baik penulis maupun orang tua beranggapan bahwasanya kita memiliki hak untuk memaksa anak berbuat sesuai kehendak kita dan tak jarang kita melakukan tindakan kontrol negatif seperti menjadi penghukum dan pembuat rasa bersalah. Tindakan ini tentunya tidak memberikan penyelesaian baik dalam setiap masalah yang terjadi pada anak.  Stephen R. Covey (Principle-Centered Leadership, 1991)  mengatakan bahwa,

“..bila kita ingin membuat kemajuan perlahan, sedikit-sedikit, ubahlah sikap atau  perilaku Anda. Namun bila kita ingin memperbaiki cara-cara utama kita, maka kita  perlu mengubah kerangka acuan kita. Ubahlah bagaimana Anda melihat dunia,  bagaimana Anda berpikir tentang manusia, ubahlah paradigma Anda, skema  pemahaman dan penjelasan aspek-aspek tertentu tentang realitas”.




Sebagai calon guru penggerak tentunya harus memahami bagaimana peran seorang guru mampu mempengaruhi, menggerakkan atau menentukan langkah kontrol yang tepat agar bisa menciptakan budaya positif tersebut. Dalam rangka menciptakan lingkungan positif, salah satu strategi yang perlu kita tinjau kembali adalah penerapan disiplin di sekolah kita. Disiplin banyak dikaitkan dengan tata tertib dan kepatuhan. Untuk menegakkan sebuah disiplin di sekolah kita sering menggunakan cara hukuman. Sama halnya dengan pemikiran Penulis  terdahulu bahwasanya untuk menegakkan sebuah kedisiplinan harus keras dan dipenuhi hukuman  atau konsekuensi jika melanggar. Hukuman yang tanpa kita sadari sering  meninggalkan trauma pada anak didik kita seperti hukuman siswa yang tidak ikut upacara bendera dengan berdiri menghormat di depan tiang bendera. Tentu saja cara ini tidak tepat untuk menegakkan disiplin ataupun menciptakan budaya positif.

Bapak Kihajar Dewantara mengatakan " 

dimana ada kemerdekaan, disitulah harus ada disiplin yang kuat. Sungguhpun disiplin itu bersifat ”self discipline” yaitu kita sendiri yang mewajibkan kita dengan sekeras-kerasnya, tetapi itu sama saja; sebab jikalau kita tidak cakap melakukan self discipline, wajiblah penguasa lain mendisiplin diri kita. Dan peraturan demikian itulah harus ada di dalam suasana yang merdeka. 
(Ki Hajar Dewantara, pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka,  Cetakan Kelima, 2013, Halaman 470)


Menurut bapak Kihajar Dewantara dalam  menciptakan murid yang merdeka, syarat utamanya adalah harus ada disiplin yang kuat. Disiplin yang dimaksud adalah disiplin diri, yang memiliki motivasi internal.

Adapun definisi kata ‘merdeka’ menurut Ki Hajar adalah: 

mardika iku jarwanya, nora mung lepasing pangreh, nging uga kuwat kuwasa amandiri priyangga (merdeka itu artinya; tidak hanya terlepas dari perintah; akan tetapi juga cakap buat memerintah diri sendiri)

Pemikiran Ki Hajar ini sejalan dengan pandangan Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School Discipline, 2001. Diane Gossen  menyatakan bahwa arti dari kata disiplin berasal dari bahasa Latin, ‘disciplina’, yang artinya ‘belajar’. Kata ‘discipline’ juga berasal dari akar kata yang sama dengan ‘disciple’ atau murid/pengikut. Untuk menjadi murid atau pengikut setipa orang akan punya alasan yang memotivasinya baik itu motivasi instrinsik maupun motivasi dari luar atau ekstrinsik.

Disiplin diri juga mempelajari bagaimana cara kita mengontrol diri, dan bagaimana menguasai diri untuk memilih tindakan yang mengacu pada nilai-nilai yang kita hargai. Sebagai pendidik, tujuan kita adalah menciptakan anak-anak yang memiliki disiplin diri sehingga mereka bisa berperilaku dengan mengacu pada nilai-nilai kebajikan universal dan memiliki motivasi intrinsik, bukan ekstrinsik. 

Nilai Kebajikan menurut Profil pelajar Pancasila yaitu : 
  • Beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan Berakhlak Mulia.
  • Mandiri
  • Bernalar Kritis
  • Berkebinekaan Global
  • Bergotong royong
  • Kreatif
Nilai Kebajikan menurut IBO Primary Years Program (PYP) yaitu : 

Sikap Murid:

  • Toleransi
  • Rasa Hormat
  • Integritas
  • Mandiri
  • Menghargai
  • Antusias
  • Empati
  • Keingintahuan
  • Kreativitas
  • Kerja sama
  • Percaya Diri
  • Komitmen 
Menurut Sembilan Pilar Karakter (Indonesian Heritage Foundation/IHF)
    • Cinta Tuhan dan segenap ciptaanNYA
    • Kemandirian dan Tanggung jawab
    • Kejujuran (Amanah), Diplomatis
    • Hormat dan Santun
    • Dermawan, Suka Menolong dan Gotong Royong
    • Percaya Diri, Kreatif dan Pekerja Keras
    • Kepemimpinan dan Keadilan
    • Baik dan Rendah Hati
    • Toleransi, Kedamaian dan Kesatuan
    Dalam kurikulum merdeka hendaknya guru menjadikan nilai kebajikan profil pelajar Pancasila sebagai pondasi dan keyakinan sekolah maupun keyakilan kelas menjadi kesepakatan semua warga sekolah untuk diterapkan. Motivasi yang kita tanamkan kepada siswa dalam menjalankan budaya disiplin hendaknya bukan karena hukuman ataupun perhargaan tapi karena motivasi internal dalam diri anak murid kita agar menghargai nilai- nilai kebajikan yang menjadi keyakinannya dan juga keyakinan bersama sebagai warga sekolah. Jadi untuk menjadi profil pelajar Pancasila bagaimana guru mampu memotivasi anak didiknya agar menjadikan nilai profil Pancasila sebagai motivasi dalam dirinya untuk menjadi bagian nilai yang ia yakini dan ia terapkan .

    Dalam menjalankan Disiplin ada 3 cara  penerapan yang dipilih yaitu hukuman, konsekuensi, restitusi. Hukuman bersifat tidak terencana dimana  Anak atau murid tidak tahu apa yang akan terjadi, dan tidak dilibatkan. Hukuman bersifat satu arah,  guru yang memberikan, dan murid hanya menerima suatu hukuman tanpa melalui suatu kesepakatan. Hukuman berupa fisik maupun psikis, murid/anak disakiti oleh suatu perbuatan atau kata-kata. Disiplin dalam bentuk konsekuensi, sudah terencana atau sudah disepakati; sudah dibahas dan disetujui oleh murid dan guru. Umumnya bentuk-bentuk konsekuensi dibuat oleh pihak guru (sekolah), dan murid sudah mengetahui sebelumnya konsekuensi yang akan diterima bila ada pelanggaran. Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004). Restitusi juga merupakan proses kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi untuk masalah mereka, dan membantu murid berpikir tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen, 1996). Dari 3 cara ini tentunya cara yang tepat bagi kita menanam kan disiplin tanpa memberikan trauma kepada anak adalah restitusi.

    Sebagai Guru harus memahami seluruh tindakan manusia memiliki tujuan tertentu, begitupun juga murid kita . Semua tindakan manusia sedang memenuhi satu atau lebih dari satu kebutuhan dasar nya, yaitu kebutuhan untuk bertahan hidup (survival), kasih sayang dan rasa diterima (love and belonging), kebebasan (freedom), kesenangan (fun), dan penguasaan (power). Ketika seorang murid melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kebajikan, atau melanggar peraturan, hal itu sebenarnya dikarenakan mereka gagal memenuhi kebutuhan dasar mereka. Untuk itu kita harus memahami kebutuhan apa yang ingin dipenuhi siswa yang sedang ingin ia penuhi dalam sebuah tindakan. 

    Untuk menciptakan budaya positif terutama menegaakan budaya disiplin tentunya kita sebagai guru akan menemukan permasalahan. Bagaimana kah cara yang tepat untuk mengatasinya?
    Pertanyaan ini awalnya bagi Penulis menjawab secara gamblang tanpa pikir panjang yaitu dengan memberikan hukuman dan konsekuensi bagi yang melanggar. Sering kali kita sebagai guru bertindak sebagai Penghukum yang melakukan tindakan menghukum siswa dengan berbagai tindakan yang membuat siswa kita trauma. tanpa memahami bahwa semua tindakan tersebut ada alasan yang seharusnya kita pahami. Setelah memahami Pendekatan Restitusi yang dikemukakan Dianne Gossen Penulis menyadari kekeliruan selama ini dan tentunya akan memilih tindakan yang tepat yang merupakan cara positif yang memberikan pengaruh positif bagi anak didik. 

    Agar tidak terjadi kekeliruan dalam mengambil tindakan , hendaknya guru Memahami 5 posisi kontrol yang dikemukakan Dianne dalam pendekatan restitusi. 5 Posisi kontrol ini merupakan cara - cara yang diterapkan guru disekolah.

    5 Posisi kontrol menurut Diane tersebut adalah : 

    1. Penghukum, Seorang penghukum bisa menggunakan hukuman fisik maupun verbal. Orang-orang yang menjalankan posisi penghukum, senantiasa mengatakan bahwa sekolah memerlukan sistem atau alat yang dapat lebih menekan murid-murid lebih dalam lagi. Guru-guru yang menerapkan posisi penghukum akan berkata:

    “Patuhi aturan saya, atau awas!”

    “Kamu selalu saja salah!”

    “Selalu, pasti selalu yang terakhir selesai”

    2. Pembuat merasa bersalah , Pada posisi ini biasanya guru akan bersuara lebih lembut. Pembuat rasa bersalah akan menggunakan keheningan yang membuat orang lain merasa tidak nyaman, bersalah, atau rendah diri. Kata-kata yang keluar dengan lembut akan seperti:

    “Ibu sangat kecewa sekali dengan kamu”

    “Berapa kali Bapak harus memberitahu kamu ya?”

    “Gimana coba, kalau orang tua kamu tahu kamu berbuat begini?”

    Di posisi ini murid akan memiliki penilaian diri yang buruk tentang diri mereka, murid merasa tidak berharga, dan telah mengecewakan orang-orang disayanginya.

    3. Teman, Guru pada posisi ini tidak akan menyakiti murid, namun akan tetap berupaya mengontrol murid melalui persuasi. Posisi teman pada guru bisa negatif ataupun positif. Positif di sini berupa hubungan baik yang terjalin antara guru dan murid. Guru di posisi teman menggunakan hubungan baik dan humor untuk mempengaruhi seseorang. Mereka akan berkata:

    “Ayo bantulah, demi bapak ya?”

    “Ayo ingat tidak bantuan Bapak selama ini?”

    “Ya sudah kali ini tidak apa-apa. Nanti Ibu bantu bereskan”.

    Hal negatif dari posisi teman adalah bila suatu saat guru tersebut tidak membantu maka murid akan kecewa dan berkata, “Saya pikir bapak/Ibu teman saya”. Murid merasa dikecewakan, dan tidak mau lagi berusaha

    4. Pemantau, Memantau berarti mengawasi. Pada saat kita mengawasi, kita bertanggung jawab atas perilaku orang-orang yang kita awasi. Posisi pemantau berdasarkan pada peraturan-peraturan dan konsekuensi. Dengan menggunakan sanksi/konsekuensi, kita dapat memisahkan hubungan pribadi kita dengan murid, sebagai seseorang yang menjalankan posisi pemantau. Pertanyaan yang diajukan seorang pemantau:

    “Peraturannya apa?”

    “Apa yang telah kamu lakukan?”

    “Sanksi atau konsekuensinya apa?”

    Seorang pemantau sangat mengandalkan penghitungan, catatan, data yang dapat digunakan sebagai bukti atas perilaku seseorang. 

    5. Manajer, adalah posisi di mana guru berbuat sesuatu bersama dengan murid, mempersilakan murid mempertanggungjawabkan perilakunya, mendukung murid agar dapat menemukan solusi atas permasalahannya sendiri. Seorang manajer telah memiliki keterampilan di posisi teman maupun pemantau, dan dengan demikian, bisa jadi di waktu-waktu tertentu kembali kepada kedua posisi tersebut bila diperlukan. Namun bila kita menginginkan murid-murid kita menjadi manusia yang merdeka, mandiri dan bertanggung jawab, maka kita perlu mengacu kepada Restitusi yang dapat menjadikan murid kita seorang manajer bagi dirinya sendiri.  Di manajer, murid diajak untuk menganalisis kebutuhan dirinya, maupun kebutuhan orang lain. Disini penekanan bukan pada kemampuan membuat konsekuensi, namun dapat berkolaborasi dengan murid bagaimana memperbaiki kesalahan yang ada. Seorang manajer akan berkata

    “Apa yang kita yakini?” (kembali ke keyakinan kelas)

    “Apakah kamu meyakininya?”

    “Jika kamu meyakininya, apakah kamu bersedia memperbaikinya?”
    “Jika kamu memperbaiki ini, hal ini menunjukkan apa tentang dirimu?”

    “Apa rencana kamu untuk memperbaiki hal ini?”

    Tugas seorang manajer bukan untuk mengatur perilaku seseorang. Kita membimbing murid untuk dapat mengatur dirinya. Seorang manajer bukannya memisahkan murid dari kelompoknya, tapi mengembalikan murid tersebut ke kelompoknya dengan lebih baik dan kuat.

    Guru seperti ini senantiasa percaya hanya ada satu cara agar pembelajaran bisa berhasil, yaitu cara dia.



    Dari 5 tindakan prilaku kontrol diatas  yang perlu diterapkan seorang guru adalah posisi manajer. Kta jangan sampai menjadi penghukum dan pembuat rasa bersalah . Karena tanpa kita sadari 2 tindakan tersebut adalah tindakan kontrol negatif yang malah menimbulkan trauma, pemberontak, berbohong , dan prilaku negatif lainnya oleh siswa. Dengan memposisikan diri kita sebagai manajer akan menguatkan karakter annak didik. Karena manajer akan memahami  siswa apa yang melatarbelakangi sebuah tindakannya dan mendukung siswa menemukan solusi menyelesaikan masalah tersebut sesuai dengan nilai kebajikan yang ia yakini. sehingga diharapkan perubahan perilaku siswa ke arah positif akan tertanam dalam dirinya . Tidak karena takut, terpaksa maupun penghargaan, namun karena motivasi alam dirinya.

    Diane Gossen dalam  bukunya Restitution; Restructuring School Discipline, (2001) telah merancang sebuah tahapan untuk memudahkan para guru dan orangtua dalam melakukan proses untuk menyiapkan anaknya untuk melakukan restitusi, bernama segitiga restitusi/restitution triangle . Langkah - langkah segitiga restitusi adalah :

    1. Menstabilkan identitas,  bertujuan untuk mengubah identitas anak dari orang yang gagal karena melakukan kesalahan menjadi orang yang sukses. Anak yang melanggar peraturan karena sedang mencari perhatian adalah anak yang sedang mengalami kegagalan. Dia mencoba untuk memenuhi kebutuhan dasarnya namun ada benturan. Janganlah kita mengkritik karena akan membuatnya dalam posisi gagal. Kalau kita ingin ia menjadi reflektif, maka kita harus meyakinkan si anak, dengan pernytaan bermakna , seperti :

    • Berbuat salah itu tidak apa-apa.
    • Tidak ada manusia yang sempurna
    • Saya juga pernah melakukan kesalahan seperti itu.
    • Kita bisa menyelesaikan ini.
    • Bapak/Ibu tidak tertarik mencari siapa yang salah, tapi Bapak/Ibu ingin mencari solusi dari permasalahan ini.
    • Kamu berhak merasa begitu.
    • Apakah kamu sedang menjadi teman yang baik buat dirimu sendiri?
    2. Valisasi Tindakan, Setiap tindakan kita dilakukan dengan suatu tujuan, yaitu memenuhi kebutuhan dasar.  Menurut Teori Kontrol semua tindakan manusia, baik atau buruk,  pasti memiliki maksud/tujuan tertentu. Seorang guru yang memahami teori kontrol pasti akan mengubah pandangannya dari teori stimulus response ke cara berpikir proaktif yang mengenali tujuan dari setiap tindakan. Pertanyaan atau pernyataan dalam melaksanakan validasi tindakan seperti :
    • “Padahal kamu bisa melakukan yang lebih buruk dari ini ya?”
    • “Kamu pasti punya alasan mengapa melakukan hal itu”
    • “Kamu patut bangga pada dirimu sendiri karena kamu telah melindungi sesuatu yang penting buatmu”.
    • “Kamu boleh mempertahankan sikap itu, tapi kamu harus menambahkan sikap yang baru.”
    3. Menanyakan Keyakinan Kelas, Teori kontrol menyatakan bahwa kita pada dasarnya termotivasi secara internal. Siswa dihubungkan dengan nilai-nilai yang dia percaya, dan berpindah menjadi orang yang dia inginkan. Pertanyaan-pertanyaan di bawah ini menghubungkan keyakinan anak dengan keyakinan kelas atau keluarga.
    • Apa yang kita percaya sebagai kelas atau keluarga?
    • Apa nilai-nilai umum yang kita telah sepakati?
    • Apa bayangan kita tentang kelas yang ideal?
    • Kamu mau jadi orang yang seperti apa?
    Sebelum ini ketika ada masalah yang terjadi pada siswa dikelas, contohnya siswa berkelahi. Biasanya Penulis lakukan adalah mencoba menstabilkan identitas diri siswa agar siswa menjadi tenang terlebih dahulu, agar ia tidak takut dan percaya serta jujur kepada gurunya dalam menyelesaikan masalah yang ada. Penulis akan mencari tahu kronologis permasalahannya dengan meminta kejujuran. lalu mengaitkan pada aturan dan meminta siswa berdamai dengan cara yang penulis tentukan . Selama ini sering kali kita lupa bahwasanya semua tindakan dilakukan anak untuk memenuhi kebutuhannya sebagai manusia, bisa saja untuk kesenangan, bertahan hidup, dan lainnya . dan guru selalu menentukan cara untuk menyelesaikan masalah yang harus diikuti siswa tanpa memberi kesempatan siswa menemukan caranya sendiri dalam menyelesaikan masalah sesuai nilai yang diyakininya. Dengan memikirkan cara dan menghubungkan nya dengan nilai kebajikan yang diyakini siswa akan membentuk karakterbaik yang kuat dalam diri siswa.

    Pencerahan ini akan menjadi alasan yang kuat bagi Penulis untuk mengubah cara pandang, maupun dalam menentukan tindakan tepat untuk mengatasi semua permasalahan yang terjadi pada siswa. Konsep Restitusi merupakan cara yang tepat untuk dilakukan .

     Penulis akan berupaya mewujudkannya, untuk mewujudkan hal ini membutuhkan proses yang yang tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Selain itu, proses ini juga membutuhkan keterlibatan semua pemangku kepentingan di sekolah. Karena zaman selalu mengalami perubahan , hendaknya kita sebagai guru tetap berupaya menemukan dan berinovasi dalam menciptakan konsep- konsep yang mampu mengatasi semua tantangan perilaku anak didik kita setiap zamannya. namun yang paling penting yang bisa Penulis simpulkan adalah dalam mengontrol prilaku anak didik untuk menciptakan budaya positif perlu adanya kolaborasi semua pihak dan bersifat adaptif , yang kata lain selalu mengalami pembaharuan dan inovasi.

    Demikianlah refleksi dan kesimpulan setelah mempelajari modul 1.4 menciptakan budaya positif, Penulis berharap sekali setelah ini akan menjadi profil manajerial yang mampu menciptakan budaya positif disekolah sehingga terciptalah prilaku positif dalam suana yang nyaman dan aman bagi peserta didik.

    Sumber :
     Modul 1.4 Pendidikan Calon Guru Penggerak
    Referensi: 
    Restitution: Restructuring School Discipline, Diane Chelsom Gossen, 2001, New View Publications, North Canada.
    Ki Hajar Dewantara; Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka,2013, UST-Press bekerjasama dengan Majelis Luhur Tamansiswa

    Posting Komentar

    0 Komentar